Happy studying, may be useful ...

Dear readers ...
for completeness this blog, we hope the comments that build ... ok thank you :)

" Health is not everything, but whithout health everything is nothing "

Sunday, June 17, 2012

PATH WAY


TB PARU

TB PARU

A.                Pengertian
            Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Myobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
(Depkes RI. 2002).

TUBERKULOSIS PARU

TUBERKULOSIS PARU

A.   Definisi :

Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Microbakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya.

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat kuman mycobakterium tuberkulosis sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru-paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansyur, 2000).

Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Brunes & Suddat, 2003 : hal 584).

Tuberculosis merupakan penyakit infeksi saluran nafas bagian bawah yang menyerang jaringan paru atau parenkim paru oleh hasil mycobakterium tuberculosis, dapat mengenai hampir semua organ tubuh (meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe, dan lain-lain) dengan lokasi terbanyak di paru, yang biasanya merupakan lokasi primer.

 

B.   Etiologi

Penyakit ini adalah bakteri kompleks mycobacterium tuberkulosis. Dengan ukuran panjang 1-4 per mm dan tebal 0,3-0,6 per mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak atau (lipit). Lipit inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman ini bersifat aerob. Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dorman.

 

 

C.   Patofisiologi

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cenderung tertahan di hidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit (Dannenberg, 1981). Setelah berada di ruang alveolus biasanya di bagian bawah lobus atas paru-paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak di daerah tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala peneumonia akut. Pneumonia seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari. Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Lesi primer paru dinamakan fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang dapat terjadi di daerah nekrosis adalah pencairan di mana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang lagi ke bagian paru lain atau terbawa ke bagian laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat dengan pembatasan bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus sehingga menjadi peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada organ lain. Jenis penyebaran ini disebut limfohematogen yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang masuk ke dalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ lainnya.

 

D.   Manifestasi Klinis

Penderita TBC akan mengalami berbagai gangguan kesehatan. Seperti batuk berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktifitas penderita bahkan kematian.

Ø    Gejala umum

Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.

Ø    Gejala lain yang sering dijumpai

Dahak bercampur darah.

Batuk darah.

Sesak nafas dan rasa nyeri dada.

Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari satu bulan.

 

E.   Klasifikasi

A.   TBC Paru

Adalah TBC yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).

Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu :

1.    TBC Paru BTA Positif.

2.    TBC Paru BTA Negative.

B.    TBC X-tra Paru

Adalah TBC yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru, misalnya pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Berdasarkan tingkat keparahannya, TB X-tra Paru dibagi menjadi 2 yaitu :

1)    TBC X-tra Paru Ringan

Misal :    TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

2)    TBC X-tra Paru Berat

Misal :    Meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudatif dupleks, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

 

F.    Pemeriksaan Penunjang

1.    Pemeriksaan Lab.

-      Anemia bila penyakit berjalan menahun.

-      Leukosit ringan dengan predominasi limfosit.

-      LED meningkat terutama pada fase akut umumnya nilai tersebut kembali normal pada tahap penyembuhan.

-      GDA : normal tergantung lokasi.

2.    Pemeriksaan Bakteriologik (Sputum)

-      Kultur sputum : (+) mikrobakterium tbc pada tahap aktif penyakit.

-      Ziehl-Neelsen (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) (+), untuk basil asam-cepat.

-      Test mantox reaksi intradermal antigen menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya antibody tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakan pada pasien yang secara klinik sakit berarti TB aktif tidak dapat ditularkan/disebabkan micobakterium.

3.    Pemeriksaan histologik/kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster, urin menurun, cairan serebrospinal biopsy (+), untuk mycobacterium tuberculosis.

4.    Pemeriksaan radiologi.

Foto thorak : infiltrasi lesi awal pada area paru atas simpanan kalsium lesi sembuh primer/efusi cairan perubahan menunjukkan lebih luas TB dapat termasuk rongga akan fibrosa.

5.    Pemeriksaan fungsi paru : penurunan kualitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara residu; kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis, kehilangan jaringan paru dan peny. pleural.

 

G.   Pencegahan

1.    Penderita TBC diisolasi.

2.    Pada pasien TBC, menutup mulut ketika batuk, dan membuang dahak tidak sembarangan.

3.    Pencegahan pada masyarakat, pada bayi diberi vaksin BCG.

4.    Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.

5.    Pada petugas memberi penyuluhan tentang bahaya TBC.

 

H.   Penatalaksanaan

1)    Pengobatan untuk individu dengan TB aktif memerlukan waktu lama karena basil resisten terhadap sebagian besar antibiotic dan cepat bermotasi apabila terpajan antibiotic yang semula masih efektif.

2)    Istirahat yang cukup.

 

Obat primer yang diberikan pada penderita TBC :

-      Isuniazid.

-      Rikampisin.

-      Pirazinamid.

-      Streptomisin.

-      Etambutol.

Ket : diberikan 6 bulan berturut-turut.

 

I.     Komplikasi

-      Pneumonia (radang parenkim paru).

-      Efusi pleura (cairan yang keluar ke dalam rongga pleura).

-      Pneumotorak (adanya udara dan gas dalam rongga selaput dada).

-      Empiema.

-      Lasingitis.

-      Menjalar ke orang lain (spt, usus).

 

Komplikasi lanjut :

-      Obstruksi jalan nafas SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis).

-      Kerusakan parenkim berat SOPT / fibrosis paru.

-      Amiloi dosis.

-      Karsinoma paru.

-      Sindrom Gagal Nafas (Dewasa (ARDS)).

 

J.    Proses Keperawatan

1.    Pengkajian

Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan tuberkulosis paru (Doengoes, 2000) ialah sebagai berikut :

(1)   Riwayat perjalanan penyakit

a.    Pola aktivitas dan istirahat.

b.    Pola nutrisi.

c.    Respirasi.

d.    Rasa nyaman/nyeri.

e.    Integritas ego.

 

(2)   Riwayat penyakit sebelumnya

a.    Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.

b.    Pernah berobat tetapi tidak sembuh.

c.    Pernah berobat tetapi tidak teratur.

d.    Riwayat kontak dengan penderita TBC paru.

e.    Daya tahan tubuh yang menurun.

f.     Riwayat vaksinasi yang tidak teratur.

(3)   Riwayat pengobatan sebelumnya

a.    Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.

b.    Jenis, warna, dosis obat yang diminum.

c.    Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan penyakitnya.

d.    Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.

(4)   Riwayat sosial ekonomi

a.    Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah penghasilan.

b.    Aspek psikososial, merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri, biasa 'a pada keluarga yang kurang mampu, masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah tentang masa depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus harapan.

(5)   Faktor pendukung

a.    Riwayat lingkungan.

b.    Pola hidup.

c.    Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang penyakit, pencegahan, pengobatan, dan perawatannya.

(6)   Pemeriksaan diagnostic (hasilnya bagaimana ?? cantumkan )

a.    Kultur sputum.

b.    Tes tuberkulin.

c.    Foto thorak.

d.    Bronchografi.

e.    Darah.

f.     Spirometri.

 

2.    Pemeriksaan Fisik

-      Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfibris), badan kurus atau berat badan menurun.

 

3.    Diagnosa Keperawatan ( lihat penulisa diagnose keperawatannya yang bener ya..)

-      Kebersihan jalan nafas tidak efektif b.d. sekret yang kental.

-      Gangguan pertukaran gas b.d. kerusakan membran alveolar kapiler.

-      Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi b.d. daya tahan tubuh menurun.

-      Perubahan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan b.d. anoreksia.

TB PARU

TUBERKULOSIS
A.    DEFINISI
TB Paru adalah penyakit infeksius yang menular yang terutama menyerang paremkim paru yang disebabkan oleh kuman Micobacterium tuberkulosis. (Brunner dan Suddarth, 2002 ).

SAP PENYULUHAN DAN TERAPI BERMAIN

SATUAN ACARA PENYULUHAN
TERAPI BERBAIN PADA ANAK USIA          TAHUN


A.      BAHASAN
a.    Pokok bahasan                        : Terapi bermain
b.    Sub pokok bahasan     : Terapi bermain pada anak usia        tahun

HEMODIALISA

ASUHAN KEPERAWATAN                                                    

KLIEN DENGAN HEMODIALISA                                    

 

A.     Definisi

Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu. Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, Hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997).

Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyNydtmrZUgoJHSx2XgV8fSMpPwNcMkA-YAOMl6-7G5EbtchrlBiLJR85maU2XlOLJY9Q9CeY4DJ9OvBucgQxW9-cA9If5LKt8m3flfzbQ3p5AEb_Uop8gBAvigH9JIBFq6y3z11KdzJjS/s1600/HD.jpg

 

B.    Indikasi

Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.

Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.

Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa Hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan Hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari Hemodialisa adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.

 

C. Kontra Indikasi

Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari Hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari Hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler padaHemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi Hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

D.    Tujuan

Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan Hemodialisa antara lain :

a.         Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.

b.         Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.

c.         Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.

d.         Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

 

E.     Proses Hemodialisa

Suatu mesin Hemodialisa yang digunakan untuk tindakan Hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membran semi permeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997).

Dalam proses Hemodialisa diperlukan suatu mesin Hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan Hemodialisadiperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin Hemodialisa (NKF, 2006).Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 1995).

Menurut Corwin (2000) Hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama Hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).

Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.

Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 1995).

Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya Hemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap Hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) Hemodialisa memerlukan waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari diantara Hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses Hemodialisa. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhN2JyhpPn96H5b2r2xPS-muoOJ9bycRq7koi3Bppyn9K_-k9A3GvUuxS3Y2YEnd6aekzVehtg6scGZHptolEykJdpfnxulHCeCV3fcRHWcNI8CzPABZah__fdjO4QENPSo3LEYyaS2Q8s/s1600/HEMO.gif

Gambar 1
Skema proses Hemodialisa

 

F.    Frekuensi Hemodialisa

Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/minggu. Program dialisa dikatakan berhasil jika :

a.    Penderita kembali menjalani hidup normal.

b.    Penderita kembali menjalani diet yang normal.

c.    jumlah sel darah merah dapat ditoleransi.

d.    Tekanan darah normal.

e.    Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif ( Medicastore.com, 2006 )

Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kronis atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal.

 

G.  Komplikasi Hemodialisa

Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan Hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :

a.    Kram otot

     Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannyaHemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya Hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.

b.    Hipotensi

     Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.

c.     Aritmia

     Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien Hemodialisa.

 

d.    Sindrom ketidakseimbangan dialisa

     Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani Hemodialisa pertama dengan azotemia berat.

e.    Hipoksemia

     Hipoksemia selama Hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.

f.      Perdarahan

     Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selamaHemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.

g.    Ganguan pencernaan

     Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.

h.    Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler

i.       Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

 

         https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2rFb0TK9jp-bJU0w4Mj6qETtkFVvaMJD4OkdscR9mY3tiIuZDQFXg4CczTgyzoHcf_A4zXiN5GGNe4SQdVDQg7T0ouvCysNTr-xadJo-inDwnzcoXlSnHtif_tlw0JdJtTl0ThjhRTynZ/s1600/HEN.jpg


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxcnqHXjtfuPd_tsdK2labfmrN5Qx6H-YOmV6zFBKWUcopg6_jru54s0q93iCTZd541SpVFluO6b91gsB1X2dSD4D0UZMCBfEmVPjXPBBdapY70LdDhJ1ye5fNqfhDsFkFhJ3McHRP6oQ3/s1600/H.gif

 

DAFTAR PUSTAKA

 

PERNEFRI, 2003, Konsensus dialisis. Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu Penyakit dalam. FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta.

Price, S. A. & Wilson, L. M., 1995, Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta.

 

PENGKAJIAN SISTEM PERKEMIHAN

PENGKAJIAN KEPERAWATAN KLIEN
DENGAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN
                                                        
Pengkajian keperawatan merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh perawat untuk mendapatkan data subjektif dan objektif yang dilakukan secara sistematis. Proses pengkajian meliputi tiga fase, yaitu wawancara, pemeriksaan fisik, dan dokumentasi. Adapun ketiga fase tersebut adalah sebagai berikut :
I.     ANAMNESE
Data-data yang dikumpulkan selama fase wawancara terkait pengkajian keperawatan sistem perkemihan adalah sebagai berikut :
A.    Riwayat Kesehatan Masa Lalu
q Terapi atau perawatan rumah sakit yang pernah dialami untuk menanggani infeksi traktus urinarius, berapa lama dirawat
q Adanya gejala panas atau menggigil
q Sistoskopi sebelumnya, riwayat penggunaan kateter urine dan hasil-hasil pemeriksaan diagnostik renal atau urinarius
q Riwayat Hematuria, perubahan warna, atau volume urin, Nokturia dan sejak kapan dimulainya
q Penyakit pada usia kanak-kanak ("strep throat", impetigo, sindrom nefrotik, Batu ginjal (kalkuli renal), ekskresi batu kemih ke dalam urin
q Kelainan yang mempengaruhi fungsi ginjal atau traktus urinarius (diabetes mellitus, hipertensi, trauma abdomen, cedera medula spinalis, kelainan neurologi lain, lupus eritematosus sistemik, scleroderma, infeksi streptococcus pada kulit dan saluran napas atas, tuberculosis, hepatitis virus, gangguan kongenital, kanker, dan hyperplasia prostate jinak).
q Untuk pasien wanita : kaji jumlah dan tipe persalinan (persalinan pervaginan, sectio caesarea); persalinan dengan forseps; infeksi vagina, keputihan atau iritasi; penggunaan kontrasepsi
q Adanya atau riwayat lesi genital atau penyakit menular seksual.
q Pernahkah mengalami pembedahan ; pelvis atau saluran perkemihan
q Pernahkah menjalani terapi radiasi atau kemoterapi
q Kaji riwayat merokok. Merokok dapat mengakibatkan risiko kanker kandung kemih. Angka kejadian tumor kandung kemih empat kali lebih tinggi pada perokok daripada bukan perokok.

B.     Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat kesehatan sekarang mencakup informasi yang berhubungan dengan fungsi renal dan urinarius.
q Keluhan utama pasien atau alasan utama mengapa ia datang ke rumah sakit.
q Adanya rasa nyeri: kaji lokasi, karakter, durasi, dan hubungannya dengan urinasi; faktor-faktor yang memicu rasa nyeri dan yang meringankannya.
q Adanya gejala panas atau menggigil, sering lelah, perubahan berat badan, perubahan nafsu makan, sering haus, retensi cairan, sakit kepala, pruritus, dan penglihatan kabur.

C.     Riwayat Kesehatan Keluarga
q Kaji adanya riwayat penyakit ginjal atau kandung kemih dalam keluarga (polisistik renal, abnormalitas kongenital saluran kemih, sindrom Alport's / nephritis herediter)
q Kaji adanya masalah eliminasi yang dikaitkan dengan kebiasaan keluarga

D.      Pola Eliminasi
q Kaji frekuensi, urgensi, dan jumlah urine output
q Kaji perubahan warna urin
q Kaji adanya darah dalam urin
q Disuria; kapan keluhan ini terjadi : pada saat urinasi, pada awal urinasi, atau akhir urinasi, Hesitancy; mengejan : nyeri selama atau sesudah urinasi, Inkontinensia (stress inkontinensia, urge incontinence, over flow incontinence, inkontinensia fungsional). Adanya inkontinensia fekal menunjukkan tanda neurologik yang disebabkan oleh gangguan kandungkemih.
q Konstipasi dapat menyumbat sebagian urethra, menyebabkan tidak adekuatnya pengosongan kandung kemih
E.     Pola Nutrisi – Metabolic
q Kaji jumlah dan jenis cairan yang biasa diminum pasien : kopi, alkohol, minuman berkarbonat. Minuman tersebut sering memperburuk keadaan inflamasi system perkemihan
q Kaji adanya dehidrasi ; dapat berkontribusi terjadinya infeksi saluran kemih, pembentukkan batu ginjal, dan gagal ginjal
q Kaji jenis makanan yang sering dikonsumsi pasien. Makanan yang mengandung tinggi protein dapat menyebabkan pembentukkan batu saluran kemih. Makanan pedas memperburuk keadaan inflamasi system perkemihan
q Kaji adanya anoreksia, mual, dan muntah. Keadaan tersebut dapat mempengaruhi status cairan
q Kaji kebiasaan mengkonsumsi suplemen vitamin, mineral, dan terapi herbal.

F.        Riwayat Kesehatan Sosial
q Kaji riwayat pekerjaan, apakah terpapar oleh bahan-bahan kimia seperti phenol dan ethylene glycol. Bau ammonia dan kimia organic dapat meningkatkan risiko kanker kandung kemih. Pekerja tekstil, pelukis, peñata rambut, dan pekerja industri mengalami risiko tinggi terkena tumor kandung kemih. Seseorang yang lebih sering duduk cenderung mengalami statis urin sehingga dapat menimbulkan infeksi dan batu ginjal.
q Seseorang yang mengalami demineralisasi tulang dengan keterbatasan aktivitas fisik menyebabkan peningkatan kalsium dalam urin.
q Laki-laki cenderung mengalami inflamasi prostat kronik atau epididimis setelah mengangkat barang berat atau mengendarai mobil dengan jarak jauh
q Perlu juga informasi tempat tinggal pasien. Dataran tinggi lebih berisiko terjadi batu saluran kemih karena kandungan mineral meningkat dalam tanah dan air di daerah dataran tinggi.
G.    Pola Persepsi – Kognitif
q Apakah gangguan eliminasi urin mempengaruhi perasaan dan kehidupan normal pasien.
q Bagaimana perasaan pasien saat menggunakan kateter, kantung urin.
H.    Pengobatan
q Diuretik dapat mengubah kuantitas dan karakter output urin
q Phenazopyridine (pyridium) dan nitrofurantoin (macrodantin) dapat mengubah warna urin.
q Anticoagulant dapat menyebabkan hematuria
q Antidepresant, antihistamin, dan obat-obatan untuk mengatasi gangguan neurology dan musculoskeletal, dapat mempengaruhi kemampuan kandung kemih atau sphinter untuk berkontraksi atau relaksasi secara normal

II.  PEMERIKSAAN FISIK
A.  Umum : Status kesehatan secara umum : lemah, letarghi
B.  Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu tubuh
C.  Pemeriksaan fisik sistem perkemihan. Teknik pemeriksaan fisik Kemungkinan kelainan yang ditemukan
Inspeksi
q  Kulit dan membran mukosa. Catat warna, turgor, tekstur, dan pengeluaran keringat
q  Mulut
q  Wajah
q   Abdomen
Pasien posisi terlentang, catat ukuran, kesimetrisan, adanya massa atau pembengkakan, kembung, Kulit dan membran mukosa yang pucat, indikasi gangguan ginjal yang menyebabkan anemia. Tampak ekskoriasi, memar, tekstur kulit kasar atau kering. Penurunan turgor kulit merupakan indikasi dehidrasi.
Edema, indikasi retensi dan penumpukkan cairan. Stomatitis, napas bau amonia
Moon face. Pembesaran atau tidak simetris, indikasi hernia atau adanya massa. Nyeri permukaan indikasi disfungsirenal. Distensi atau perut yang nyeri menetap, distensi, kulit mengkilap atau tegang.
q  Meatus urinary
Laki-laki posisi duduk atau berdiri, tekan ujung gland penis dengan memakai sarung tangan untuk membuka meatus urinary. Pada wanita : posisi dorsal litotomi, buka labia dengan memakai sarung tangan. Perhatikan meatus urinary
Palpasi
a. Ginjal
q  Ginjal kiri jarang dapat teraba, meskipun demikian usahakan untuk mempalpasi ginjal untuk mengetahui ukuran dan sensasi.Jangan lakukan palpasi bila ragu karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
q  Posisi pasien supinasi, palpasi dilakukan dari sebelah kanan.
q  Letakkan tangan kiri dibawah abdomen diantara tulang iga dan lengkung iliaka. Tangan kanan dibagian atas. mengkilap dan tegang, indikasi retensi cairan atau ascites. Distensi kandung kemih, pembesaran ginjal. Kemerahan, ulserasi, bengkak, atau adanya cairan, indikasi infeksi. Pada laki-laki biasanya terdapat deviasi meatus urinary seperti defek kongenital. Jika terjadi pembesaran ginjal, maka dapat mengarah ke neoplasma atau patologis renal yang serius. Pembesaran kedua ginjal, indikasi polisistik ginjal. Tenderness/lembut pada palpasi ginjal maka indikasi infeksi, gagal ginjal kronik. Ketidaksimetrisan ginjal indikasi hidronefrosis.
q  Anjurkan pasien nafas dalam dan tangan kanan menekan sementara tangan kiri mendorong ke atas.
q  Lakukan hal yang sama untuk ginjal kanan

b. Kandung kemih
Secara normal, kandung kemih tidak dapat dipalpasi, kecuali terjadi distensi urin maka palpasi dilakukan di daerah simphysis pubis dan umbilicus.

Perkusi
a. Ginjal
q  Atur posisi klien duduk membelakangi pemeriksa.
q  Letakkan telapak tangan tidak dominan diatas sudut kostovertebral (CVA), lakukan perkusi atau tumbukan di atas telapak tangan dengan menggunakan kepalan tangan dominan.
q  Ulangi prosedur untuk ginjal kanan. Jika kandung kemih penuh maka akan teraba lembut, bulat, tegas, dan sensitif. Tenderness dan nyeri pada perkusi CVA merupakan indikasi glomerulonefritis atau glomerulonefrosis.
b. Kandung kemih
q Secara normal, kandung kemih tidak dapat diperkusi, kecuali volume urin di atas 150 ml. Jika terjadi distensi, maka kandung kemih dapat diperkusi sampai setinggi umbilicus.
q Sebelum melakukan perkusi kandung kemih, lakukan palpasi untuk mengetahui fundus kandung kemih. Setelah itu lakukan perkusi di atas region suprapubic.
Jika kandung kemih penuh atau sedikitnya volume urin 500 ml, maka akan terdengar bunyi dullness (redup) di atas simphysis pubis.
Auskultasi
Gunakan diafragma stetoskop untuk mengauskultasi bagian atas sudut kostovertebral dan kuadran atas abdomen. Jika terdengar bunyi bruit (bising) pada aorta abdomen dan arteri renalis, maka indikasi adanya gangguan aliran darah ke ginjal (stenosis arteri ginjal)

III.   PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a.      PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL (Kreatinin, BUN / Nitrogen Urea Darah)
b.      Ultrasound / USG
c.      MRI (mengetahui lesi invasif pada ginjal)
d.     IVP (melihat berbagai lapisan ginjal)
e.      Sistoram (melihat dinding kandung kemih)
f.       Angiografi Renal (visualisasi arteri renalis)
g.      Biopsi
h.      Endoskopi (melihat pelvis ginjal)
IV.   DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.       Perubahan kelebihan volume cairan b/d gagal ginjal dengan kelebihan air.
b.      Resiko tinggi terhadap menurunnya curah jantung b/d kelebihan cairan
c.       Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d katabolisme protein
d.      Kelelahan b/d penurunan produksi energi metabolik/pembatasan dit, anemia
e.       Resiko tinggi terhadap infeksi b/d depresi pertahanan imunologi.
f.       Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d kehilangan cairan berlebihan
g.      Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang mengingat.